Sunday, November 10, 2013

All About: Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

BY Himasika ITS IN No comments


Bung Tomo, Radio Pemberontakan, dan Teriakan `Allahu Akbar`





Bung Tomo berdusta. Kepada para pemimpin lokal di Surabaya, ia mengklaim mendapat izin untuk mendirikan radio dari Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Pada kenyataannya, saat bertemu Amir di Jakarta, izin itu tak diberikan.

Pria bernama asli Sutomo tersebut melakukannya lantaran kecewa berat. Di Jakarta, pasukan Sekutu datang pada 30 September 1945. Para serdadu Belanda ikut rombongan.

Hal yang membuatnya gundah: bendera Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo masih berstatus wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya saat itu.

Sebelumnya, pada 19 Desember, sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato atau Hotel Oranye, Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka. Rakyat marah. Seorang Belanda tewas dan bendera merah-putih-biru itu diturunkan. Bagian biru dibuang, tinggal merah-putih, yang langsung dikerek naik.

Sementara, di Jakarta, Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai konfrontasi bersenjata.

Lalu, Bung Tomo kembali ke Surabaya. "Kita (di Surabaya) telah memperoleh kemerdekaan, sementara di ibukota rakyat Indonesia terpaksa hidup dalam ketakutan," katanya seperti dicatat sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS.

Ia mundur dari PRI karena menganggap organisasi yang dipimpin Soemarsono ini terlampau 'lembek.' Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) didirikannya. Bung Tomo juga mundur dari ANTARA.

Di masa itu, mengundurkan diri bukan perkara sepele. Bung Tomo sempat mau 'dihabisi' rekan-rekannya di PRI karena dianggap memecah-belah rakyat.



Kemudian, sebuah radio akhirnya benar-benar didirikan Bung Tomo untuk terus memelihara semangat perlawanan. Radio tersebut diberi nama 'Radio Pemberontakan' dan mulai mengudara pada 16 Oktober 1945. Di hari-hari pertama, pemancarnya masih meminjam milik RRI Surabaya.

Penyiar utamanya, ya, Bung Tomo. Dengan suara menggelegar dan intonasi memikat, pria kelahiran 3 Oktober 1920 itu secara rutin muncul untuk menyampaikan pidato. Sebelum dan sesudah pidato, ia selalu selalu meneriakkan "Allahu Akbar."

Menurut Frederick, berdasarkan penelitiannya untuk Ph.D, cara itu ditempuh demi memikat kalangan santri yang sangat dibutuhkan tapi banyak yang belum tergerak menceburkan diri dalam gerakan perlawanan menyambut kedatangan tentara Sekutu.

Jakarta sesungguhnya tak terlalu suka dengan langkah-langkah suami Sulistina ini. Dianggap terlalu 'menghasut' untuk perang, melupakan jalan diplomasi. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak.


K'tut Tantri Mengudara

Siaran juga dilakukan dalam bahasa Inggris. Orang yang melakukannya adalah perempuan Amerika Serikat kelahiran Skotlandia, Muriel Pearson, atau lebih dikenal sebagai K'tut Tantri.

Tantri siaran dua kali dalam semalam. "Tujuannya adalah memberikan penjelasan kepada mereka yang berbahasa Inggris di dunia mengenai kisah perjuangan bangsa Indonesia. Kisah dari sudut pandang rakyat Indonesia sendiri," tulis Tantri dalam otobiografinya, Revolt in Paradise.

Pada 25 Oktober 1945, pasukan Inggris yang mewakili Sekutu akhirnya tiba di Surabaya. Brigjen AWS Mallaby memimpin. Sehari sebelumnya, Bung Tomo berorasi di radio. Petikannya:

"Kita ekstremis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki..."

"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstremis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"



Pertempuran akhirnya pecah pada 27 Oktober 1945 setelah pasukan Inggris membebaskan sejumlah intel Belanda yang ditangkap sebulan sebelumnya. Mereka lalu mengambil alih beberapa instalasi penting seperti kantor jawatan kereta api, kantor telepon dan telegraf, serta rumah sakit. Tapi, mereka kalah jumlah.

Kontak senjata sempat jeda setelah Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Trio ini datang atas permintaan Inggris yang terdesak. Namun, 3 hari kemudian, Mallaby tewas.

Ultimatum dijatuhkan: para pemimpin Surabaya harus menyerah paling lambat pukul 18.00 pada 9 November 1945. Semua rakyat yang memegang senjata juga harus melakukan hal serupa. Lalu, pembunuh Mallaby menyerahkan diri.

Jika tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul 06.00, Inggris akan mulai menggempur. Permintaan itu tak dituruti. Pada 9 November, Bung Tomo lagi-lagi berpidato di radio. Nukilannya:

"Saudara-saudara rakyat Surabaya. Bersiaplah! Keadaan genting. Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu."

"Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka. Dan untuk kita, Saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap. Merdeka atau mati! Dan kita yakin, Saudara-saudara, akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara!

"Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!" 




Sekutu Nyaris Bertekuk Lutut, Bung Karno `Menyelamatkan`





Sabtu, 27 Oktober 1945. Menjelang siang, sebuah pesawat militer menjatuhkan ribuan pamflet di atas Surabaya. Isi pamflet itu: Sekutu akan menegakkan keamanan dan ketertiban. Hanya tentara Sekutu yang boleh membawa senjata. Jika ada pihak lain yang membawa senjata, bakal ditembak.

Pamflet itu diteken Mayjen. D.C. Hawthorn, Panglima Sekutu untuk wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Pamflet serupa juga disebar di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Tapi, ditanggapi dingin-dingin saja.

Di Surabaya, lain cerita. Mereka sangat Curiga, Belanda memanfaatkan kedatangan Sekutu untuk kembali menjajah dan menumbangkan Republik Indonesia yang masih bayi.

Seluruh senjata diminta diserahkan dalam tempo 48 jam. Namun, selepas magrib, pertempuran telah pecah di berbagai sudut kota.

Brigade ke-49 Inggris, yang mewakili Sekutu di Surabaya dan dipimpin Brigjen AWS Mallaby, berjumlah 6.000 orang. Mereka berhadapan dengan sekitar 30 ribu anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan puluhan ribu rakyat sipil bersenjata.

Selain unggul dalam jumlah personel, pihak Republik juga memiliki 12 tank dan beberapa meriam. Semua hasil rampasan dari Jepang. Pun, dukungan total dari seluruh rakyat tanpa mengenal usia.

Hal lain, pihak Republik sukses memutus pasokan listrik dan air bersih ke pasukan Sekutu. Mereka mati kutu. Di tengah-tengah situasi itu, Sekutu meminta bantuan pimpinan tertinggi Republik.



Pada 29 Oktober pagi, sebuah pesawat Angkatan Udara Inggris mendarat di lapangan udara Morokrembangan, Surabaya. Pesawat itu membawa Bung Karno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, dan sejumlah perwira Inggris.

Untuk beberapa jam, trio pemimpin itu berada di markas tentara Inggris. Akhirnya disepakati gencatan senjata.

"Mereka memberikan kepadaku sebuah jip dan mulailah aku menenteramkan keadaan...Aku berkeliling ke seluruh penjuru di mana saja pahlawan-pahlawan muda kami berada..." kata Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.

Dalam perjalanan, konvoi dihentikan. Soemarsono, ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), berdiri di tengah jalan. Ratusan anak buahnya mengepung dengan senjata di tangan. Bung Karno keluar dari mobil.

"Bung, kenapa pertempuran kita hentikan? Inggris sebentar lagi akan kita kalahkan," kata Soemarsono seperti dicatat Hersutejo dalam Soemarsono: Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan.

Bung Karno bersikap tenang dan meminta Amir Sjarifuddin keluar. Soemarsono, yang merupakan kader Amir di Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), tak menyangka patronnya ikut dalam rombongan.

Amir berujar, "Hal ini sudah didiskusikan dengan kawan-kawan di Jakarta. We have to win the war, not the battle."

Meski kecewa, Soemarsono patuh. Ia mengantar rombongan ke RRI Surabaya. Melalui corong radio, Bung Karno menyerukan seluruh rakyat Surabaya untuk meletakkan senjata. Ditegaskan, Republik tak memusuhi Sekutu yang datang untuk melucuti militer Jepang yang baru takluk di Perang Dunia II.



Keesokan harinya, perundingan digelar. Sekutu diwakili Mallaby dan Hawthorn. Pamflet yang disebar 27 Oktober menjadi sumber perdebatan sengit. Akhirnya, Hawthorn menyatakan pamflet itu ditarik.

Setelah beberapa perjanjian disepakati, pada 30 Oktober siang, para pemimpin Republik kembali ke Jakarta. Tapi, suasana tenang hanya bertahan beberapa jam.

Pada malam harinya, sebuah insiden menewaskan Mallaby. Sekutu benar-benar marah. Inilah yang mengantarkan kedua pihak dalam pertempuran besar-besaran sejak 10 November dan beberapa hari setelahnya.







Kegigihan Arek-Arek Suroboyo Tewaskan Dua Jenderal Inggris





Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan memang banyak meninggalkan jejak-jejak sejarah yang masih sulit diungkap. Masa kejayaan kota itu saat bendera Belanda disobek warna merahnya oleh arek arek Suroboyo di atas gedung Hotel Yamato. Tetapi, masih banyak sejarah menarik yang membuat para sejarahwan pun menduga-duga.

Salah satu kematian Jenderal Inggris, yakni Brigjen Mallaby. Kontroversi kematiannya sampai saat ini masih menjadi teka-teki. Dalam buku 'Pertempuran Surabaya November 1945' yang ditulis Des Alwi pun masih menduga bahwa Mallaby tewas karena menjadi korban tembak salah sasaran.

Dalam buku ini, tewasnya Mallaby akibat salah sasaran berdasarkan kesaksian dari Muhamad, tokoh pemuda yang ikut masuk ke gedung Internatio untuk mendinginkan suasana. Di dalam gedung tersebut, Muhamad melihat sendiri tentara Inggris telah menyiapkan mortir yang diarahkan ke kerumunan massa yang mengelilingi mobil Mallaby.

Menurut Muhamad, ia melihat sejumlah mortir di depan jendela yang akan ditembakan ke mobil yang sedang berhenti di dekat Jembatan Merah. Muhamad sudah menduga bahwa mortir yang akan ditembakan guna membuat panik rakyat Indonesia sehingga Mallaby bisa keluar dari mobilnya.

Namun, apa yang terjadi nyatanya berbeda. Walaupun mortir-mortir itu mampu mengacaukan kerumunan massa, tidak berselang lama mobil yang dinaiki Mallaby juga meledak. Hal ini membuat kerusuhan semakin menjadi parah.

Pada akhirnya, jenazah Mallaby yang hangus terbakar dikembalikan kepada pasukan Inggris seminggu kemudian. Pasukan Inggris mengubur jenazah Mallaby di kawasan Tandjung Perak. Dalam buku juga diungkapkan para pasukan Inggris tampaknya tidak sempat mengecek kebenaran tentang mayat Mallaby karena peperangan segera berkobar.

Tewasnya Mallaby membuat Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang mengecam bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri. Tidak hanya itu, melalui kebijakan konyolnya, ia menyuruh setiap orang yang menyerahkan senjata harus mengangkat tangan di atas.

Batas ultimatum adalah pukul 06.00, tanggal 10 November 1945. Karena arek-arek Surabaya tidak mau menaati ultimatum tersebut, maka meletuslah pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Lalu, jenderal Inggris kedua yang juga tewas di tangan 'arek-arek Suroboyo' saat itu ialah Brigjen Robert Guy Loder Symonds. Dirinya merupakan Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris di Surabaya.

Tewasnya jenderal Inggris ini karena diberondong senjata antipesawat udara yang diawaki oleh Goemoen, dari kesatuan BPRS (Barisan Pemberontak Rakjat Soerabaja). Morokrembangan yang dulunya ada sebuah lapangan terbang telah menjadi saksi kegigihan para pejuang Indonesia untuk menjatuhkan pesawat yang dinaiki Jenderal Robert Loder-Symonds.

Kedua jenderal Inggris yang tewas di Surabaya ini kini dimakamkan di di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta. Khusus untuk Mallaby, walaupun sempat dikuburkan di Tandjung Perak, jasadnya pernah dipindahkan ke pemakaman Kembang Kuning Surabaya. Setelah beberapa bulan, baru dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, hingga saat ini.






Siapa Membunuh Jenderal Mallaby?





Sukarno, Mohammad Hatta, dan Amir Sjarifuddin kembali ke Jakarta. Misi menghentikan kontak senjata antara rakyat Surabaya dan tentara Sekutu dianggap tuntas.

Memang secara umum pertempuran sudah stop pada 30 Oktober 1945 itu. Hanya di titik-titik tertentu yang masih berlangsung. Biro Penghubung yang dibentuk untuk mengawasi gencatan senjata berkeliling mulai sekitar pukul 17.30, menyampaikan hasil kesepakatan.

Dari pihak Indonesia, anggota Biro Penghubung antara lain Residen Soedirman, Doel Arnowo (Ketua Komite Nasional Indonesia), Roeslan Abdulgani (Sekretaris KNI), Muhammad (TKR), Sungkono (TKR), dan T.D. Kundan (penerjemah). Sedangkan dari pihak Sekutu, Panglima Brigade ke-49 India, Brigjen Mallaby, Kolonel L.H.O. Pugh dan Kapten H. Shaw.

Biro Penghubung berkeliling karena "...tak bisa mengandalkan siaran radio saja karena keadaan aliran listrik kota," kata Soemarsono, ketua Pemuda Rakyat Indonesia (PRI), seperti dicatat Hersutejo dalam Soemarsono: Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan. Saat berkeliling, Mallaby didampingi Kapten H. Shaw, Kapten R.C. Smith, dan Kapten T.L. Laughland.

Dua lokasi yang masih 'panas' adalah Gedung Lindeteves di Jembatan Semut dan Gedung Internatio. Kalau keadaan di lokasi pertama bisa dengan gampang diredakan, situasi di lokasi kedua jauh berbeda.

Gedung Internatio saat itu diduduki tentara Sekutu di bawah pimpinan Mayor K. Venu Gopal. Gedung tersebut dikepung sekitar 500 pemuda bersenjata. Ketika rombongan Biro Penghubung tiba di halaman gedung tersebut, massa segera mengerumuni.

Langsung dijelaskan bahwa gencatan senjata diberlakukan. Mereka patuh. Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan. Mobil baru bergerak sekitar 90 meter, sekelompok massa lain menghadang.



Ternyata, ini kelompok yang lebih beringas dan tidak kooperatif. Pedang dihunus, pistol dan senapan diacungkan. Lebih jauh, senjata para perwira Sekutu disita. Gagal upaya anggota Biro Penghubung untuk mencegah.

"...massa pemuda menuntut pasukan Inggris di Gedung Internatio meletakkan senjata dan berbaris keluar. Mereka berjanji, para prajurit dan perwira Inggris bebas kembali ke lapangan udara," kata Smith seperti dikutip J.G.A. Parrot dalam kertas kerja berjudul Who Killed Brigadier Mallaby? yang dimuat di jurnal Indonesia edisi 20 Oktober 1975.

Smith, Mohammad, dan Kundan masuk. "Saya mengizinkan ketiga orang tersebut masuk, dengan harapan mengulur waktu. Setelah beberapa waktu, Kundan keluar dari Gedung, meninggalkan Kapten Shaw dan perwira Indonesia tadi..." tulis Gopal dalam suratnya tertanggal 8 Agustus 1974 ke Parrot.

"Sementara, orang-orang bersenjata mulai mendesak masuk ke gedung, saya tidak punya pilihan lain, kecuali mengawali serangan. Keputusan ini benar-benar saya buat sendiri,” lanjut Gopal.

Baku tembak meletus. Menurut Smith, tak lama kemudian datang seorang Indonesia bersenjata mendekati mobil dan menembak empat kali ke arah mereka. Tembakan meleset, tapi mereka berpura-pura mati. Menyangka musuhnya tewas, orang tersebut pergi.

Pertempuran berakhir sekitar pukul 20.30. Sesudah itu, lanjut Smith, datang dua pemuda ke mobil. Mereka berusaha menjalankan mobil, namun gagal. Seorang di antaranya kemudian membuka pintu belakang pada sisi Mallaby. Sang Jenderal bergerak, yang membuat pemuda itu tahu Mallaby masih hidup. Terjadilah percakapan.

Mallaby meminta agar dipanggilkan salah seorang anggota Biro Penghubung dari Indonesia. Kedua pemuda kemudian pergi.



Salah seorang di antaranya datang kembali ke pintu depan pada sisi Mallaby. Perbincangan kembali terjadi. Mendadak pemuda tersebut mengulurkan tangannya lewat jendela depan dan menembak Mallaby dengan pistol. Jenderal itu meregang nyawa.

Melihat kejadian tersebut, Smith mencabut pasak granat yang diterimanya dari Laughland. Si pemuda bereaksi dengan menembak kedua perwira Inggris itu. Tembakannya menyambar bahu Laughland.

Smith segera melemparkan granat melampaui tubuh Mallaby lewat pintu yang terbuka. Smith dan Laughland cepat-cepat lari dan terjun ke Kali Mas.

Akibat ledakan granat, tempat duduk belakang mobil terbakar dan pemuda itu diduga tewas. Setelah beberapa jam di Kali Mas, kedua perwira Inggris itu berhasil bergabung kembali dengan pasukan mereka.

Kematian Mallaby mengundang Sekutu untuk memberikan ultimatum. Yaitu, pemimpin dan rakyat Surabaya harus menyerah paling lambat pada 9 November pukul 18.00. Perintah itu tak pernah dipatuhi dan pertempuran 10 November meletus. 





Baru 5 Hari di Surabaya, Inggris Kehilangan Jenderal





Dalam menghadapi Jerman dalam Perang Dunia II, Inggris tak pernah kehilangan satu pun jenderalnya. Namun saat pasukan Inggris tiba di Surabaya, lima hari kemudian atau pada 30 Oktober 1945 seorang jenderalnya terbunuh, yakni Brigadir A.W.S. Mallaby. Inilah muasal pertempuran 10 November 1945.

Dalam catatan Batara R. Hutagalung dalam buku, "10 November 1945: Mengapa Inggris Membom Surabaya?" (2001) menyebutkan, sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II, Inggris bertujuan untuk melucuti senjata pasukan Jepang yang masih berada di Indonesia.

Brigadir Mallaby tiba dengan pasukannya pada 25 Oktober 1945 di Surabaya. Pasukannya dikenal dengan Brigade 49 yang jumlah sekitar 6.000 pasukan. Brigade 49 juga bagian Divisi 23 pasukan Inggris yang dikenal dengan 'The Fighting Cock', yang memiliki pengalaman mengalahkan tentara Jepang di hutan Burma.

Batara Hutagalung yang juga Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menuliskan, tugas pokok Mallaby di Surabaya dari perintah Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara Vice Admiral Lord Louis Mountbatten ada tiga hal. Pertama, melucuti senjata pasukan Jepang dan mengatur kepulangan. Kedua, membebaskan para tawanan Sekutu yang ditahan Jepang di Asia Tenggara. Ketiga, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.

"Ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris dengan mengatasnamakan Sekutu, bertujuan mengembalikan Indonesia kembali sebagai jajahan Belanda," tulis Batara.

Hal itu dianalisa Batara dari dokumen Konferensi Yalta, sebuah kesepakatan antara Inggris-Amerika Serikat dan perjanjian bilateral Inggris dengan Belanda. Menurut Batara, hal itu adalah penyimpangan yang menggunakan atas nama aliansi pasukan Sekutu.

Pada 27 Oktober 1945, sekitar siang hari, sebuah pesawat Dakota terbang di atas Kota Surabaya dan menyebarkan pamflet. Pamflet itu berisi, agar seluruh penduduk menyerahkan senjatanya rampasan dari tentara Jepang kepada perwakilan Sekutu di Surabaya, yakni Inggris. Tenggat waktu yang diberikan hanya 2 x 24 jam. Pamflet itu instruksi
Mayor Jenderal Hawthorn, Panglima Divisi 23. Ancaman dalam pamflet itu akan menembak mereka yang tak taat.

Dalam pandangan Batara, saat pamflet disebarkan, Mallaby dikabarkan kaget, karena sehari sebelum kesepakatan, Inggris dan Indonesia tidak menyebut klausul penyerahan senjata. Namun, karena atasan yang memerintahkan, Mallaby akhirnya melaksanakan perintah, mulai dari penahan kendaraan dan menyitas senjata yang dimiliki republik.

Tentara dan penduduk di Surabaya tidak terima dengan hak itu, Inggris dianggap melanggar perjanjian sebelumnya. Selain itu Inggris terlihat akan mengembalikan Indonesia sebagai negeri jajahan kepada Belanda. Sempat terjadi perundingan dengan Badan Keamanan Rakyat dengan Inggris, namun tak mencapai kesepakatan.

Pasukan Republik di Surabaya memperkirakan untung rugi jika menyerahkan senjata ke Inggris akan membuat republik akan lumpuh. Salah satu perhitungan untuk melawan adalah, pasukan Inggris baru datang di Surabaya dan tidak mengenal wilayah Surabaya. Kemudian
kekuatan pasukan Inggris hanya satu brigade. Selain itu Inggris belum mengetahui jumlah pasukan Indonesia yang ada di Surabaya dan sekitar.

Maka pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Mallaby tahu Inggris akan kalah jika melawan. Maka dia minta agar Bung Karno dan Panglima Pasukan Inggris Divisi 23 Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya untuk melakukan perundingan damai. Perundingan kesepakatan damai terjadi 30 Oktober 1945. Isi perdamaian itu menghentikan tembakan dan Inggris menarik mundur pasukan di Surabaya secepatnya.

Usai perundingan, sekitar sore hari, Mallaby yang ingin memberitahukan itu ke pos-pos pasukannya. Saat mobilnya mendekati pos pasukannya di gedung Internatio atau dekat Jembatan Merah, mobilnya dikepung oleh pemuda. Dalam situasi panik dan tegang itu, terjadi baku tembak antara pemuda dan pasukan Inggris dan membuat tewas Mallaby.




See more at here



Wednesday, October 2, 2013

PKTI HIMASIKA ITS 2013

BY Himasika ITS IN No comments

PKTI HIMASIKA


Berikut ini foto Dokumentasi PKTI HIMASIKA ITS 2013:







See more at:  PKTI Himasika


Penyambutan Wisuda 107

BY Himasika ITS IN No comments

Penyambutan Wisuda 107
22 September 2013

Inilah foto dokumentasi penyambutan Wisuda 107:



















See more at: Penyambutan Wisuda 107


Thursday, September 19, 2013

Foto Dokumentasi KAMPINA (Kampung Impian HIMASIKA)

BY Himasika ITS IN No comments

Ini merupakan foto-foto dokumentasi kegiatan Kampina kemarin (18-9-2013)

Kampina merupakan salah satu program kerja dari departemen sosial masyarakat Himasika ITS. Dalam kegiatan kampina ini mahasiswa dari jurusan fisika ITS membagikan sedikit ilmunya kepada adik-adik yang berada di keputih dengan cara mengajar. Semoga kedepannya kegiatan ini dapat terus berlangsung.









































See more at KAMPINA


Tuesday, September 17, 2013

Welcome Party TOFITS (Tim Olimpiade Fisika ITS)

BY Himasika ITS IN No comments

Inilah Foto Dokumentasi Welcome Party TOFITS (Tim Olimpiade Fisika ITS).








See more at Welcome Party TOFITS